top of page



SIGAB
Sistem Informasi dan Gerak Antisipasi Banjir

Green-Blue-Grey Infrastructure: Solusi Inovatif Dalam Pengembangan RTH yang Adaptif di Kota Jakarta
Dibuat Oleh Tim Justice (Jakarta Urban Sustainability and Resilience)
Sumber video: Youtube Explore The World 4K
Pendahuluan
Jakarta adalah salah satu kota terbesar di dunia dengan populasi lebih dari sebelas (11) juta. Kota Jakarta dinobatkan sebagai kota paling rentan di dunia terhadap bahaya lingkungan dalam hal perubahan iklim, polusi, dan bencana alam (Verisk Maplecroft, 2021). Kota ini terletak di daerah aluvial datar dengan ketinggian kurang dari 20 m di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh tiga belas sungai (Firman et al., 2011; Simarmata dan Surtiari, 2019). Kenaikan permukaan laut global diperkirakan sekitar 70 hingga 100 cm pada tahun 2100 di bawah RCP 8.5 (IPCC, 2022). Risiko ini diperburuk oleh faktor buatan manusia seperti pengembangan lahan yang padat, sistem drainase yang terbebani, ekstraksi air tanah yang berlebihan, dan penurunan tanah (Abidin et al., 2001; 2011; Chaussard et al., 2013).

Sumber : Liputan6.com
Banjir
Jakarta memiliki sejarah panjang terkait banjir, dengan catatan banjir tertua berasal dari tahun 1621. Data terbaru pada tahun 2023 dirilis dari BPS Provinsi DKI Jakarta, jumlah kejadian banjir DKI Jakarta mencapai 15 kejadian. Sedangkan pada tahun 2024, dirilis dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) di bawah BNPB, kejadian banjir di DKI Jakarta hingga bulan Oktober sejumlah 7 kejadian dengan total rumah yang terendam sebanyak 1.427 rumah.
Data banjir lintas tahun
Sumber video: Youtube AFP News Agency
Permasalahan Banjir di Jakarta
Menurut Asdak et al (2018) Jakarta menghadapi tantangan banjir yang disebabkan oleh ketidakmampuan infrastruktur grey seperti drainase dan pompa air untuk menangani volume air yang tinggi, sementara menurut Agustine et al (2022) blue infrastructure seperti sungai dan waduk mengalami sedimentasi sehingga kapasitasnya berkurang. Pendekatan green infrastructure melalui pengembangan lahan resapan air, taman kota, dan ruang hijau dapat membantu mengurangi dampak limpasan air (Czerpak & Widomski, 2024). Akan tetapi, urbanisasi yang cepat dan padatnya pembangunan telah mengurangi ruang hijau Jakarta, sehingga sebagian besar lahan kini berupa permukaan keras yang tidak menyerap air.
Sedimentasi

Sumber: youtube Didi sangrival
Klasifikasi Dampak Banjir

Peta disamping menampilkan tingkatan dampak banjir yang pernah dialami oleh Kota Jakarta di kelurahan. Pada peta tersebut juga memberikan informasi mengenai tahun terjadi banjir, tinggi genangan (cm), lama genangan (hari), penyebab banjir, kategori banjir, dan luas genangan (ha). Data tersebut merupakan data kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2020. Layer yang digunakan hanya layer dampak banjir. Dampak banjir paling tinggi dapat direpresentasikan dari gradasi warna biru paling gelap yang dapat dilihat dengan bantuan legenda sebagai keterangan warna.
Sumber data: Jakartasatu

Diagram Persentase Dampak

Kategori dampak banjir di Kota Jakarta yang paling tinggi yaitu "sangat tinggi" terjadi di 22 kelurahan dengan luas total yang terdampak sebesar 6.017 Ha atau 9.4% dari total luas . Kategori ini menjadi urutan terluas ketiga dari seluruh kategori. Berikutnya kategori dampak banjir "tidak terdampak" berada pada 157 kelurahan dengan luas total 38.762 Ha atau 60,3% dari total luas . Kategori ini menjadi urutan pertama yang memiliki luas yang paling tinggi.
Berita Banjir Jakarta
Green-Blue-Grey Infrastructure
Penerapan Green-Blue Infrastructure (GBI) berpotensi meningkatkan kualitas hidup perkotaan dalam menghadapi perubahan iklim (Versini et al., 2018). Sistem drainase yang hanya mengandalkan Grey Infrastructure dinilai kurang memadai untuk mengatasi risiko lingkungan (Browder et al., 2019). Meski efektif untuk mitigasi banjir, Green-Blue Infrastructure (GBI) saja belum cukup menghadapi dampak perubahan iklim di masa depan, sehingga kombinasi dengan Grey Infrastructure dapat menjadi solusi optimal (Frantzeskaki et al., 2019). Dalam kota dengan keterbatasan ruang, pendekatan kombinasi ini memungkinkan efisiensi yang lebih besar dalam mengurangi risiko banjir serta manfaat tambahan seperti peningkatan kualitas udara, penggunaan tong hujan, dan pekerasan berpori (Alves et al., 2020).

Green Infrastructure


Green Infrastructure, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada, diindikasikan oleh simbol hijau dalam visualisasi. Kawasan dengan potensi banjir yang tinggi dan belum memiliki infrastruktur hijau yang cukup menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengoptimalkan RTH. Fungsi RTH di sini sangat penting untuk mendukung infiltrasi air hujan dan mengurangi limpasan permukaan. Dari visual peta, tampak jelas bahwa wilayah dengan dampak banjir tinggi tidak semuanya didukung oleh infrastruktur yang memadai. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan infrastruktur dan kondisi yang ada, yang dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan. Kelurahan tanpa RTH sama sekali yaitu Kelurahan Bale Kambang, Cawang, Cikoko, Srengseng, dan Sukabumi Selatan tidak memiliki infrastruktur hijau, meskipun luas kelurahannya cukup besar dan rentan terhadap banjir. Ketidakhadiran RTH ini membuat kawasan-kawasan ini semakin rentan terhadap banjir karena tidak ada vegetasi yang bisa membantu meresap air atau mengurangi limpasan permukaan.
Blue Infrastructure


Blue Infrastructure, yang mencakup embung, danau, rawa, dan waduk. Infrastruktur ini berfungsi untuk mengurangi potensi genangan dengan menampung limpasan air. Pada wilayah banjir tinggi, terbukti bahwa beberapa area tidak memiliki cukup infrastruktur biru, yang seharusnya dapat membantu mengurangi beban sistem drainase dan mengelola volume air secara lebih efektif. Seperti pada di Kelurahan Cawang.
Grey Infrastructure


Grey Infrastructure, yang mencakup seluruh jenis jaringan drainase. Infrastruktur ini berfungsi untuk mengelola sumber daya air dan mengurangi risiko banjir melalui sistem yang dirancang oleh manusia, seperti saluran drainase, instalasi pengolahan air limbah, dan bendungan, yang semuanya bertujuan untuk mengontrol aliran air dan memastikan pengelolaan air yang efisien di lingkungan perkotaan.
Kesesuaian Lahan RTH
Visual peta diatas merupakan hasil integrasi green infrastructure dengan variabel penentu risiko banjir sehingga menghasilkan potensial RTH baru. Hasil analisis menunjukkan bahwa area dengan kategori "Sesuai" sangat layak untuk dijadikan prioritas dalam pembangunan RTH, karena memiliki tingkat kesesuaian yang optimal untuk mitigasi banjir. Area "Cukup Sesuai" juga dapat dipertimbangkan dengan adanya perencanaan tambahan, sedangkan area "Tidak Sesuai" diperlakukan sebagai area eksploratif yang memerlukan intervensi tambahan jika ingin dijadikan RTH untuk mitigasi banjir. Dengan memaksimalkan area yang "Sesuai" dan "Cukup Sesuai", diharapkan mitigasi banjir melalui RTH dapat lebih efektif dalam menghadapi potensi banjir di wilayah ini.

Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi infrastruktur hijau, biru, dan abu-abu dalam mitigasi banjir di Jakarta yang berisiko tinggi karena urbanisasi. Infrastruktur hijau seperti RTH membantu penyerapan air, infrastruktur biru seperti waduk menampung limpasan, dan infrastruktur abu abu seperti drainase memperlancar aliran air. Penelitian ini menggunakan lima variabel (kepadatan penduduk, jenis tanah, jarak sungai, kemiringan lereng, dan tutupan lahan) untuk memetakan lokasi yang cocok bagi pengembangan RTH melalui WebGIS. Sebagai tambahan, direkomendasikan penerapan taman vertikal, taman balkon, dan taman atap untuk mengoptimalkan ruang hijau di area padat. Visualisasi melalui WebGIS diharapkan dapat mendukung keputusan berbasis data yang lebih komprehensif dalam pengelolaan banjir dan lingkungan Jakarta.

Taman Vertikal

Taman Atap

Taman Balkon
Anggota Tim Justice
Firmansyah Adhitiya Busnamy



Hasna Asti Fatihah
Lidya Annisa Putri
bottom of page